MATERI Antropologi Hukum

BAHAN KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM
I.    HUKUM dan KEBUDAYAAN

Seperti dipahami bersama bahwa ilmu-ilmu hukum mencakup normwissenschaften yang menyoroti hukum dari sudut normatif, dan tatsachenwissenschaften yang menelaah hukum sebagai perikelakuan yang merupakan kenyataan dalam masyarakat. Salah satu ilmu bantu hukum yang menyoroti hukum dari aspek perilaku adalah antropologi hukum. Dalam tataran normatif yang dipelajari adalah asas hukum dan kaedah hukum. Asas hukum merupakan nilai, dan nilai merupakan inti dari kebudayaan yang menjadi tinjauan utama dari antropologi. Dari sudut antropologi, kita akan mengetahui latar belakang dari kaedah/norma hukum atau asas hukum/nilai hukum.
Sebenarnya pada kuliah AH kita akan langsung masuk ke materi AH, tetapi dengan pertimbangan peserta kuliah belum tentu pernah mengambil/mengikuti mata kuliah Antropologi Budaya (AB), karena mata kuliah AB merupakan mata kuliah pilihan. Dengan pertimbangan itu, maka pada awal kuliah dibuka dulu dengan hal-hal yang terkait antara kebudayaan dengan hukum, dengan memberikan pengertian kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan, dan hubungan antara kebudayaan dengan hukum.
Kebudayaan
Kebudayaan menurut Prof.Dr. Koentjaraningrat  dalam bukunya Pengantar Antropologi I (1996:72) adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (naluri, refleks, tindakan akibat proses fisiologi, tindakan membabi-buta), sangat terbatas. Bahkan tindakan yang bersifat naluri (makan, minum, berjalan) juga telah banyak dirombak oleh manusia sehingga menjadi tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu tertentu dengan cara tertentu, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Demikian juga cara berjalan, berbeda antara orang kebanyakan dengan cara berjalan prajurit militer atau peragawati, inipun sebagai tindakan kebudayaan yang dibiasakan dengan belajar.
Kebudayaan (culture), perlu dibedakan dengan peradaban (civilization). Peradaban adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bagian-bagian/unsur-unsur dari kebudayaan  yang sifatnya halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun dan pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegara dan lain-lain. Istilah peradaban juga sering dipakai untuk menyebut bagian kebudayaan seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, masyarakat kota yang maju dan kompleks. 

Wujud Kebudayaan
Wujud kebudayaan, menurut Prof Koentjaraningrat (1996: 56) digambarkan dalam 4 lingkaran konsentris yaitu :
1.      Lingkaran inti adalah nilai-nilai budaya (sistem ideologis)
2.      Lingkaran kedua dari dalam adalah sistem budaya (sistem gagasan)
3.      Lingkaran ketiga adalah sistem sosial (sistem tingkah laku)
4.      Lingkaran keempat adalah kebudayaan fisik (benda-benda fisik).
Contoh dari wujud konkret kebudayaan (lingkaran/wujud keempat) antara lain bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak, dan semua benda hasil karya manusia yang bersifat konkrit dan dapat diraba serta difoto. Wujud ketiga/sistem tingkah laku, meliputi menari, berbicara, tingkah laku melakukan pekerjaan, semua gerak-gerik dan dari hari ke hari, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem sosial.Wujud ketiga ini masih bisa dipotret dan konkret.
Sedangkan wujud kedua/ sistem gagasan, tempatnya pada kepala tiap individu  warga kebudayaan. Wujud kedua ini bersifat abstrak, tak dapat difoto, dan hanya dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajari melalui wawancara atau dengan membaca apa yang dia tulis. Berikutnya wujud pertama/ sistem ideologis, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga sejak usia dini, dan karenanya sukar diubah, disebut juga “nilai-nilai budaya” yang menentukan sifat dan corak pikiran, cara berpikir serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan.
Hubungan Hukum Dengan Kebudayaan
Dalam AH, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam hidup bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tingi nilai-nilai budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial.
Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih mempermudah manusia mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya atau yang sesuai dengan gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup atau cetak biru, yang merupakan kebudayaan dari masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat, dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.
Contoh untuk menjelaskan hubungan hukum dan kebudayaan akan diberikan contoh mengenai hubungan kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Bali. Menurut kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang sangat penting. Nilai utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai pengubung dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang mempertimbangkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan (secara1 konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang menghubungkan para laki-laki sebagai penghubung-penghubung garis keturunan. Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial lainnya dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal  yang berkenaan dengan kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke tempat tinggal kerabat dari suaminya (patrilokal), norma sosial yang lain, harta dari seorang ayah diwariskan pada anaknya yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya  bergabung menjadi suau lembaga  atau pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga keluarga. Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota masyarakat, bila ada anggota masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu, maka ini berarti nilai budaya yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu sering terjadi, maka nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan terancam hilang.
Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang konkret yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi wewenang untuk itu. Sebagai contoh,  ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti suami ke tempat tinggal kerabatnya, maka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan. Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang tercermin dalam norma sosial juga dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena perlindungannya terjadi melalui proses hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya dengan sanksi hukum, dibandingkan dengan norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.




II.      PENGERTIAN ANTROPOLOGI HUKUM

Definisi Antroplogi Hukum
Menurut Prof. Dr. T.O. Ihromi (1984:24) Antropologi Hukum adalah cabang dari antropologi budaya  yang hendak memahami bagaimana masyarakat mempertahankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi melalui proses pengendalian sosial yang salah satunya berbentuk hukum. Sedangkan Prof. Dr. Nyoman Nurjaya (2008:47) melihat definisi AH dari dua sudut. Dari optik ilmu hukum,  AH pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Jika dilihat dari sudut antropologi, AH adalah sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat.
Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial  secara empiris dalam kehidupan masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Antroplogi Hukum   merupakan salah satu ilmu empiris atau ilmu perilaku yang menitik beratkan pada  pemahaman hukum dalam sudut  pandang empiris/kenyataan yaitu ilmu antropologi. Pemahaman terhadap suatu kenyataan dalam bahasa sosiologi disebut verstehen, menjelaskan mengapa suatu perbuatan itu terjadi. Dikaitkan dengan kajian hukum, maka yang dipahami adalah mengapa orang yang satu melakukan tindakan yang berbeda dengan orang yang lain pada hal aturan yang berlaku bagi orang-orang tersebut sama. Latar belakang inilah yang ingin dicari penjelasannya dari kacamata antropologi hukum. Perspektif ini berbeda dengan perspektif hukum yang menjustifikasi terhadap   seseorang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan.
Manfaat Mempelajari Antropologi Hukum
Para praktisi hukum seringkali ragu-ragu mengenai apakah ada manfaat yang dapat diambil dari AH. Mereka berkilah bahwa telaah AH akan memperdalam pemahaman mengenai proses pengendalian sosial, latar belakang budaya dari hukum, tetapi hasilnya tidak dapat langsung digunakan. Hal itu memang benar, karena fungsinya lebih besar pencegahan atau preventif daripada represif, dengan mengetahui latar belakang budaya dari suatu masyarakat  dalam pengendalian sosial akan dengan mudah mengendalikan masyarakat yang kurang atau tidak tahu hukum negara.  Jadi manfaat mempelajari AH adalah untuk mengetahui gambaran bekerjanya hukum sebagai pengendali sosial yang dilatar-belakangi oleh budaya.  
Ruang Lingkup Antropologi Hukum
Ruang lingkup antropologi hukum dapat dijelaskan dengan membandingkan dengan ilmu-ilmu yang dekat dengannya, yaitu dengan hukum adat dan sosiologi hukum. Ada ahli antropologi yang menyamakan hukum adat dengan antropologi hukum. Pendapat ini tidaklah salah karena pokok perhatian kedua ilmu ini bukan pada masyarakat yang sudah maju seperti di Barat, tetapi pada masyarakat sederhana dimana kehidupan hukum dan budayanya belum kompleks. Selain itu kedua-duanya mempelajari gejala sosial. Bahkan hari lahirnya hukum adat yaitu 3 Oktober 1901 ketika van Vollenhoven menyampaikan kuliah inaugurasinya di Universitas Leiden, oleh ahli antropologi hukum John Griffiths disebut juga lahirnya Antropologi Hukum.
G.J.Resink, guru besar FHUI, seperti dikutip Prof. T.O. Ihromi, mengatakan dalam banyak hal sebenarnya pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang sekarang digunakan dalam AH, juga telah menjadi tradisi dalam ilmu hukum adat. Bahkan sudah jauh-jauh hari Ter Haar menggunakan istilah etnologi hukum, sehingga dapatlah diterima bahwa bidang yang ditelaah oleh AH  dengan hukum adat, untuk bagian besar banyak persamaannya. Bahan-bahan hukum adat dapat dimanfaatkan dalam pengembangan AH di Indonesia,   demikian sebaliknya metode-metode penelitian dalam AH juga dapat bermanfaat bagi hukum adat itu sendiri.
Perbedaannya, dalam hukum adat yang diutamakan adalah identifikasi dari adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Sedangkan Antropologi Hukum, disamping mempelajari norma hukum juga ditelaah berbagai jenis pedoman perilaku serta hubungan di antara aneka norma itu dengan nilai-nilai budaya yang dianut dalam suatu masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa wawasan AH lebih luas karena tidak  hanya memperhatikan hukum di Indonesia, tetapi juga bersifat komparatif sehingga hukum ditinjau sebagai gejala yang bersifat lintas budaya. 
Perbedaaan antara antropologi hukum dengan hukum adat dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1
Perbedaan Antropologi Hukum dengan Hukum Adat
No
Item
Antroplogi Hukum
Hukum Adat
1
Obyek
Perilaku manusia
Norma hukum di luar UU
2
Pendekatan
Holistik
Yuridis normatif
3
Sifat Penelitian
Penelitian lapangan
Studi pustaka & dokumen
4
Norma
Kenyataan
Dikehendaki

Dari tabel diatas terlihat  bahwa obyek AH adalah perilaku hukum dari manusia, sedangkan sasarannya adalah norma-norma hukum yang dipakai oleh anggota masyarakat. Selanjutnya pendekatan yang dipakai AH adalah holistik, dari kata whole, artinya dalam mempelajari sesuatu akan dilihat secara keseluruhan. Meminjam teori sistem, hukum hanyalah entitas sub sistem yang dipengaruhi dan mempengaruhi oleh sub-sub sistem yang lain, misalnya sub sistem ekonomi, sub sistem politik, sub sistem sosial dan lain sebagainya. Kemudian dilihat dari sifat penelitian, pada AH lebih menitik-beratkan pada penelitian lapangan (field research) dari pada studi pustaka. Sebaliknya hukum adat, lebih mengutamakan studi pustaka dan dokumen dari pada penelitian lapangan.  
Untuk melihat ruang lingkup AH, juga akan diperlihatkan perbedaannya dengan Sosiologi Hukum (SH),  karena ilmu yang disebut terakhir ini juga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan AH. Ada yang mengatakan antara AH dan SH  adalah seperti dua sisi mata uang logam, bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2
Perbedaan Antropologi Hukum dengan Sosiologi Hukum
No
Item
Antropologi Hukum
Sosiologi Hukum
1
Obyek
Hukum bukan Barat, tidak tertulis
Hukum Barat/ yang telah dipengaruhi, hk tertulis
2
Subyek
Masyarakat sederhana
Masyarakat maju/modern
3
Perspektif
Budaya
Sosial
4
Penelitian
Kualitatif, studi kasus
Kuantitatif, Sampel

Perbedaan di atas adalah perbedaan pada awalnya, dalam perkembangannya sudah mengalami perubahan, bahkan sulit untuk dibedakan, misalnya obyek dan subyek sudah bercampur mulai dari masyarakat sederhana sampai masyarakat maju/modern.  Hal-hal yang masih bisa dibedakan adalah menyangkut perspektif dan metode penelitian yang masing-masing mempunyai ciri khas.



Pendekatan Antropologi Hukum
Berbicara mengenai pendekatan, adalah berbicara bagaimana cara suatu ilmu pengetahuan mendekati obyek/sasaran kajiannya. Pendekatan AH setidaknya ada tiga yaitu, holistik, empiris, dan komparatif. Pendekatan holistik artinya, AH melihat gejala sosial yang ada dengan kacamata menyeluruh, dari berbagai sudut pandang, tidak stereotip, yaitu hukum dipandang bukan hanya hukum secara an sich, tetapi dilihat dari sudut pandang dan kaitan fungsinya dengan yang lain, misalnya ekonomi, politik, sosial, agama dan lain sebagainya.
Sebagai ilmu perilaku/empiris, AH lebih menitik-beratkan pada kenyataan-kenyataan hukum yang nampak dalam situasi atau peristiwa hukum (law in actions) tidak hukum dalam peraturan perundangan tertulis (law in book).  Dalam arti lain, AH sebagai ilmu empiris mempunyai konsekuensi bahwa teorinya harus didukung oleh fakta yang relevan atau setidaknya terwakili secara representatif. Mengikuti pendekatan sejarah, maka metode komparatif dapat dilakukan dengan cara penelitian sinkronis (generalizing approach) maupun penelitian diakronis (descriptive approach). Dalam penelitian sinkronis, mencari prinsip  persamaan diantara berbagai kebudayaan. Sedangkan metode komparatif yang diakronis, meneliti suatu masyarakat tertentu dari waktu ke waktu atau perkembangan suatu masyarakat tertentu.

III.   PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM

Awal pemikiran  antroplogis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik mengenai masyarakat dan hukum. Secara umum tema kajian/teori-teori AH dapat dikelompokkan dalam 3 fase, yaitu Fase Evolusionisme, Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.
Fase Evolusionisme (1861-1926)
Tema-tema kajian yang dominan pada fase evolusionisme/awal perkembangan AH adalah berkisar pada eksistensi hukum. Perspektif pada fase ini adalah adanya anggapan hukum berevolusi/berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.  Studi evolusionistik AH dimulai oleh Sir Henry Maine dalam bukunya The Ancient Law (1861), yang mengatakan bahwa perkembangan hukum menyesuaikan dengan  perkembangan masyarakatnya,  yang dimulai dari masyarakat purba, masyarakat suku, dan masyarakat wilayah bersama. 
Menurut Maine, pada masyarakat purba, masyarakatnya masih disibukkan dengan urusan makanan dan melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada waktu itu belum ada hukum. Kemudian masyarakat suku menyadari bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan darah yang disebut masyarakat suku (tribal society). Pada masyarakat suku ini, kata Maine pada dasarnya masih belum ada hukum, tetapi dikatakan ada hukum jika hukum tersebut berlaku secara kontinyu bukan secara insidental.
Kemudian masyarakat suku timbul kesadaran baru bahwa suku-suku yang ada bertempat tinggal pada teritorial bersama, sehingga terbentuk masyarakat wilayah bersama. Pada masyarakat ini sudah terbentuk pemerintahan baik monarki maupun republik. Perkembangan hukum pada masyarakat ini dibedakan menjadi dua, masyarakat wilayah bersama yang statis (diluar Eropa dan Amerika Utara) hukumnya masih sederhana, sedangkan pada masyarakat wilayah bersama yang dinamis, bentuk hukumnya sudah kompleks dan modern.
Tokoh kedua pada fase evolusionisme adalah J.J. Bachofen dengan bukunya Das Mutterecht  (terbit 1861). Menurut Bachofen perkembangan masyarakat dimulai dari Gemeinschaft menuju masyarakat gesselschaft. Masyarakat Gemeinschaft adalah suatu masyarakat yang masih menjunjung tinggi semangat kesersamaan, kekeluargaan, gotong-royong dalam kehidupannya. Pada masyarakat ini bentuk hukumnya mengikuti masyarakatnya, artinya hukum yang terbentuk masih mengutamakan hal-hal yang sifatnya komunal. Kemudian pada masyarakat gesselschaft adalah suatu masyarakat yang sudah menggunakan rasionalisme, individualisme, dan ekonomis dalam kehidupannya. Demikian pula hukum yang terbentuk pada masyarakat ini menempatkan kepentingan pribadi, rasionalitas dan ekonomis di atas kepentingan bersama.
Fase Fungsionalisme (awal abad ke-20)
Selanjutnya pada fase fungsionalisme  ini, terjadi perdebatan apa itu hukum, apakah hukum ada pada semua masyarakat,  dari para peminat AH. Dimulai dari A.R. Radcliffe Brown yang mengatakan hukum adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan negara. Alasannya, hanya dalam suatu organisasi sosial seperti negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dan lain-lain sebagai pranata neara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan (automatic spontaneus submission to tradition).
Pendapat Brown ini, yang mengatakan bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam masyarakat sederhana, dikritik oleh Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime and Punishment in Savage Society yang terbit tahun 1926menurut Malinowski juga bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis, tetapi hukum harus diberi pengertian luas, yaitu sebagai suatu sistem pengendalian sosial (legal order system) yang didasarkan pada prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan publisitas (principle of publicity) yang secara empiris  berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat Malinowski ini  memperoleh komentar dan kritik dari Paul Bohannan (Law and Warfare, Studies in the Anthopology of Conflict, 1967:45-49) yang mengatakan sebagai berikut:
1.      Mekanisme  resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untukmengatur hak dan kewajiban dalamkehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2.      Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan, atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan kebiasaan  merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang kala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan hukum, tetapi bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum.
Oleh karena itu Bohannan mengajukan definisi hukum sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang  sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum untuk mencapai tujuan agar kehidupan masyarakat dapat berfungsi dan teratur. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang disebut double institutionalization of norm atau pelembagaan kembali norma.
Selanjutnya, Leopold Pospisil (Anthopology of Law, A Comparative Study, 1971: 39-35) juga mengkritik Malinowski bahwa pengertian hukumnya terlalu luas, sehingga hukum yang dimaksudkan juga dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-kebiasaan, bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu Pospisil mengajukan definisi hukum sebagai suatu aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial. Untuk membedakan peraturan hukum dengan noram-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu :
1.      Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah keputusan-keputusan  dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa.
2.      Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of universal aplication) artinya  keputusan-keputusan pemegang otoritas juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.
3.      Atribut obligasio (attribute of obligation)  berarti keputusan pemegang otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama.
4.      Atribut sanksi (attribute of sanction) keputusan-keputusan dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai penjatuhan sanksi.
Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan atribut otoritas, juga diperkenalkan oleh Ter Haar dengan teorinya  teori Keputusan (beslissingenleer/ decision theory) yang mendefinisikan hukum sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus sengketa dan non sengketa
Fase Pluralisme Hukum  (1940-sekarang)
Fase ini terbagi menjadi sub-sub fase antara lain: 1) Fase antropologi hukum penyelesaian sengketa (1940-1950-an); 2). Fase pluralisme hukum penyelesaian sengketa dan non sengketa (1960- 1970-an); 3). Fase pluralisme hukum pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup dan lain-lain (1990- sekarang).
Pada fase AH penyelesaian sengketa,  teori-teori evolusionisme dan fungsionalisme mulai ditinggalkan dan bergeser ke arah untuk memahami mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement) dalam masyarakat. Metode penelitian juga sudah berganti dari studi pustaka/dokumen menjadi studi lapangan (fields research).  Karya klasik dari Karl Llewellyn dan E.A. Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum (Llewellyn) dengan ahli antropologi (Hoebel)  dalam masyarakat Indian Cheyenne di AS. Kemudian Hoebel mempublikasikan hasil studinya dengan judul The Law of Primitive Man (1954), disusul karya  Gluckman mengenai hukum orang Barotse dan lozi di Afrika, juga karya Bohannan mengenai hukum orang Tiv, dan Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndenduli, serta karya Pospisil tentang hukum orang Kapauku di Papua. Pada fase ini, kajian yang menonjol adalah penemuan hukum dengan menelusuri kasus sengketa. Pada masa itu, untuk menemukan hukum pada masyarakat yang belum mengenal tulisan dipakai metode 3 jalan raya hukum yaitu :
1.  Metode ideologis, adalah cara penemuan hukum dengan mencari aturan atau norma yang dipersepsikan sebagai hukum/pedoman perilaku.
2.  Metode deskriftif, ialah cara penemuan hukum dengan mengamati perilaku anggota masyarakat untuk diabstraksikan menjadi  hukum. 
3.  Metode kasus sengketa, adalah cara penemuan hukum dengan mengikuti, mengamati dan menelaah kasus yang telah atau sedang terjadi di masyarakat.
Menurut Hoebel, metode pertama dan kedua mempunyai kelemahan yaitu pada metode pertama kita hanya mendapatkan aturan yang belum tentu dipraktekkan dalam kasus yang sedang dihadapi. Sedangkan pada metode kedua, perilaku yang muncul belum tentu menunjukkan keadaan yang sebenarnya, jika sedang menghadapi sengketa. Oleh karena itu, metode ketiga sangat cocok dan komplit, karena di dalamnya kita dapat menemukan apa yang ditemukan dalam metode pertama dan kedua. Selain itu metode ini dipandang lebih ilmiah karena menerapkan metode induktif (dari khusus ke umum).
Dalam kepustakaan sosiologi sengketa disebut dengan konflik. Pengertian konflik adalah fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan melekat (inherent)  dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu konflik tidak perlu dilihat sebagai gejala patologis yang bersumber dari tingkah-laku devian/abnormal, karena setiap komunitas  masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan konflik-konflik yang muncul dalam pergaulan sosial warga masyarakat.
Dalam perspektif antropologi hukum, fenomena konflik mempunyai makna ganda yaitu makna negatif dan makna positif. Makna negatif, konflik menimbulkan disintegrasi suatu kehidupan sosial dan melemahkan kohesi sosial atau menimbulkan kerusakan suatu sistem  hubungan sosial dalam masyarakat. Makna positif, konflik dapat mempertahankan integrasi sosial, memperkokoh ikatan sosial, memberi kontribusi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial antar individu atau kelompok. Makna positif akan terwujud jika pihak-pihak yang terlibat konflik secara bersama-sama dapat mengelola, mengendalikan, dan menyelesaikan konflik yang dihadapi secara dewasa, bijak, damai, dengan atau tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga (Gluckman, 1956).
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam masyarakat bersumber dari persoalan-persoalan sebagai berikut:
1.         Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam (natural resources control and distribution)
2.         Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelomok masyarakat  (terittoriality expantion)
3.         Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan
4.         Kepadatan penduduk (density of population).
Dalam persepktif AH, konflik yang terjadi dalam masyarakat paling tidak dapat dikategorisasi menjadi 3 macam, yaitu :
1.         Konflik kepentingan (conflict of interests)
2.         Konflik nilai-nilai (conflict of values)
3.         Konflik norma (conflict of norms).
Nader dan Todd (1978) menyatakan bahwa pada dasarnya konflik-konflik yang terjadi  di masyarakat melalui tahapan-tahapan konflik sebagai berikut :
1.         Pra konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, bersifat monadik
2.         Konflik, adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan tidak puas tersebut, bersifat diadik.
3.         Sengketa, adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau melibatkan pihak ketiga, bersifat triadik atau publik.
Sedangkan model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat sederhana maupun modern adalah sebagai berikut :
1.         Membiarkan saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan, gugatan, tuntutan pihak lain atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak lain
2.         Menghindar (avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak berdaya atau untuk menjaga hubungan dengan pihak lain.
3.         Kekerasan (coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan, seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf atau eigenrichting) atau bentuk perang antar suku (warfare)
4.         Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik
5.         Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga (mediator dalam penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara (go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik
6.         Arbitrase, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik
7.         Ajudikasi, melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak.
Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat. Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat paling tidak ada 2 macam , yaitu:
1.         Institusi tradisional (folk institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang masih sederhana dan subsisten, di mana relasi antar individu, hubungan   kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka maksud penyelesaian sengketa adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat.
2.         Institusi negara (state institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah kompleks dan modern, di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik, berorientasi pada ekonomi pasar, maka maksud penyelesaian sengketa dengan mengacu pada hukum negara yang legalistik.
Daniel S.Lev, Indonesianis dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan penelitian  mengenai budaya hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di Jawa dan Bali menyimpulkan sebagai berikut :
1.         Dalam kehidupan sosial sebagai besar masyarakat Indonesia cenderung untuk menghindari konflik dengan siapapun, karena  nilai-nilai pergaulan sosial yang dianut lebih bersifat personal, komunal, mengutamakan solidaritas, dan bernuansa magis. Oleh karena itu jika terjadi konflik, cenderung diselesaikan  melalui prosedur kompromi, konsiliasi, mengutamakan pendekatan personal dan kekerabatan.
2.         Konflik antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun  harus terjadi cenderung ditutupi dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan sosial, tidak menjatuhkan martabat/derajat pihak yang diajak konflik
3.         Fokus penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih pada upaya pelenyapan konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.
4.         Makna penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang (win-lose solution), tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk menghentikan perselisihan dan meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi. Oleh karen itu yang diutamakan bukan penyelesaian substansi konflik tetapi lebih pada prosedur penyelesaian konflik. 
5.         Para pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada peraturan-peraturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketanya. Oleh karena itu petugas hukum ditaati masyarakat bukan karena alasan yang berkaitan dengan masalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Pada Fase Pluralisme Hukum  Penyelesaian Sengketa dan Non Sengketa, tema kajian pluralisme hukum pada awalnya difokuskan pada fenomena kemajemukan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui mekanisme dan institusi tradisional yang dikenali masyarakat setempat (folk institution of dispute settlement). Kemudian tema-tema studi pluralisme model penyelesaian sengketa mulai diarahkan  untuk memahami mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa selain menurut hukum yang diberlakukan pemerintah kolonial di negeri jajahannya, juga menurut hukum positif yang berlaku di negara-negara merdeka
Kemudian sejak tahun 1970-an tema studi AH secara sistematis difokuskan pada korelasi antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional dalam masyarakat menurut hukum rakyat (folk law) dan menurut institusi penyelesaian sengketa menurut hukum negara (state law). Karya-karya Nader dan Todd, van Rouveroy van Nieuwaal, serta suami-istri Franz dan Keebet von Benda Beckmann mewakili masa itu. Nader dan Todd (1978)  sebagai hasil riset dari Berkeley Village Law Project, memfokuskan kajiannya pada proses-proses, mekanisme-mekanisme, institusi-institusi penyelesaian sengketa yang dikenali dalam komunitas-komunitas masyarakat tradisional maupun masyarakat modern di sepuluh negara di dunia. Kemudian Nieuwaal melakukan riset tentang mekanisme penyelesaian sengketa dalam kehidupan orang Togo di Afrika. Selanjutnya Franz von Benda Beckmann (1979) dan Keebet von Benda Beckmann (1984) memberi pemahaman tentang proses,mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa mengenai harta warisan di kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan pengadilan negeri di Sumatera Barat. Karya Sally Falk Moore (1978) mulai meninggalkan tema pluralisme hukum penyelesaian sengketa berganti tema pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa, dengan penelitiannya tentang persoalan agraria pada suku Chagga di Tanzania (Afrika), mekanisme dalam proses produksi di satu pabrik garment terkenal di Amerika Serikat. Selain itu pada tahun 1970-an kajian AH menggunakan pendekatan sejarah untuk menjelaskan keberadaan, relasi dan interaksi institusi hukum negara dengan hukum rakyat dalam penyelesaian sengketa, seperti yang dilakukan  Keebet von Benda Beckmann dalam karyanya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau (2000).
Berikutnya kajian pluralisme hukum dalam berbagai hal mengemuka sejak 1970-an. Pluralisme hukum menurut Griffiths (1986:1) didefinisikan sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama. Sedangkan Hooker (1975:3) menjelaskan pluralisme hukum sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial. Sementara itu Franz von Benda Beckmann mengartikan pluralisme hukum sebagai suatu kondisi dimana  lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara  berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat.
Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan eksistensi sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Jadi ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya  dalam masyarakat. Oleh karena itu pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan.
Menurut Griffiths, pluralisme hukum pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme hukum yang kuat dan pluralisme hukum yang lemah. Pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism)  mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak ada hirarki yang menunjukkan hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Sedangkan pluralisme hukum yang lemah, merupakan bentuk lain daripada sentralisme hukum, karena walaupun hukum negara mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara sistem hukum  yang lain bersifat inferior. Contoh konsep pluralisme hukum yang lemah, adalah interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat dan hukum agama yang berlangsung di negara-negara jajahan.
Setelah munculnya teori Semi Autonomous Social Field dari Sally Falk Moore (1978), maka Griifths mengadopsi  teori Moore, sehingga hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme menjadi tidakt terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation). Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksitensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.  
 Pada tahun 1970-an tema studi-studi AH cenderung lebih diarahkan untuk memberi pemahaman mengenai fungsi dan peran hukum dalam fenomena pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditunjukkan karya bersama Joop Spiertz dan Melanie G.Wiber (eds) yang bertajuk The Role of Law in Natural Resources Management (1996). Kecenderungan lainnya, pada April 2002 The Commission on Folk Law and Legal Pluralism menyelenggarakan the XIII-th International Congress and Symposium di Chiang Mai, Thailand dengan tajuk Legal Pluralism and Unofficial Law in Social, Economic and Political Development.  Selanjutnya perkembangan terakhir pada bulan Juni 2006 lalu di Universitas Indonesia, Jakarta The Commisionon Folk Law dan Legal Pluralism kembali menyelenggarakan Kongres dan Simposium Internasional dengan tema Law, Power and Culture: Transnational, National and Local Process in the Contex of Legal Pluralism. Pada Kongres ini selain berfokus pada kemajemukan pengelolaan dan hak penguasaan masyarakat adat atas sumber daya alam, juga dibahas topik kajian hukum ber-perspektif jender, agama dan kemajemukan hukum, regulasi hak asasi manusia, perlindungan HKI, masalah jaminan sosial, KDRT, trafficking (perdagangan manusia), hak atas kesehatan reproduksi, sampai aspek penanggulangan bencana alam.

IV.   TEORI-TEORI ANTROPOLOGI HUKUM
 Teori Forum Shopping-Shopping Forum dari Keebet von Benda Beckmann (2000: 64-65) merupakan hasil penelitiannya di Sumatera Barat yang berlangsung bulan Juni 1974 – September 1975. Teori ini dibangun dari fakta persengketaan harta warisan kolam Batu Panjang yang diklaim oleh dua kaum yang berbeda. Dari fakta-fakta penelitian itu, Keebet membangun sebuah teori yang di-analogkan dari istilah hukum perdata internasional, yaitu   Forum Shopping-Shopping Forum. Forum Shopping berarti orang-orang yang bersengketa  dapat memilih lembaga dan mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa tersebut. Sedangkan Shopping Forum berarti pihak pengadilan, baik pengadilan adat ditingkat masyarakat maupun di pengadilan pemerintah terlibat memanipulasi sengketa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan politik atau malah menolak sengketa yang mereka (hakim) kawatirkan akan mengancam kepentingan mereka.
Dikaitkan dengan kondisi sekarang ini, pada Forum Shopping, para pihak yang bersengketa bebas memilih model penyelesaian sengketa apakah melalui jalur di luar pengadilan (ADR) ataukah di pengadilan sesuai dengan hasil akhir yang diharapkan. Sedangkan Shopping Forum, pihak lembaga penegak hukum (polisi, jaksa,hakim, juga advokat) mempunyai kekuasaan apakah akan meneruskan perkara yang diajukan kepadanya ataukah dipeti-eskan/deponeer/SKPP/ SP3 sesuai dengan hasil akhir yang diharapkan.  
Teori berikutnya dari Marc Galanter (dalam Ihromi,1993) yang bertajuk Justice in Many Rooms. Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang hukum, di satu sisi dilihat dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain melihatnya dari dimensi pluralisme hukum. Galanter melihat bahwa pada dimensi sentralisme terdapat kelemahan-kelemahan, seolah-olah keadilan itu produk eksklusif dari lembaga yang mendapat wewenang yuridis dari negara. Dengan demikian ada gerak sentripetal dari masyarakat untuk menyelesaikan perkaranya, artinya satu-satunya cara untuk mencari keadilan hanya ditemukan di temukan di lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah. Akibatnya terjadi banyak penumpukan perkara (terutama di MA) sehingga membutuhkan waktu yang panjang, tenaga dan biaya yang berlebih.
Di Amerika Serikat, dengan menunjuk studi S.Macaulay, bahwa banyak sengketa yang menurut peraturan atau perjanjian bisa diajukan ke pengadilan, ternyata  banyak yang dibiarkan berlalu, dielakkan, dibatalkan, atau diselesaikan sendiri melalui jalur ADR (Alternative Dispute Resolution). Melihat kenyataan yang demikian, Marc Galanter berpendapat bahwa setiap komunitas biasanya mempunyai self regulation termasuk dalam penyelesaian  sengketa  yang tejadi diantara mereka. Hingga akhirnya, Marc Galanter mencetuskan teori Justice in Many Rooms yang mengatakan bahwa keadilan itu dapat ditemukan diberbagai tempat, tidak hanya di lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah.
Aplikasi teori Galanter di Indonesia yang bernuansa pluralistik dapat kita temukan, misalnya negosiasi, mediasi, arbitrase baik sengketa tentang rumah tangga, di tempat kerja, perdagangan dan lain sebagainya. Contoh konkritnya lembaga bipartit dan tripartit untuk sengketa perburuhan, mediasi kasus pencemaran sungai Tapak di Semarang dan sungai Asahan di Sumatera Utara untuk sengketa lingkungan, peran orang tua/sesepuh untuk perkara rumah tangga dan masih banyak lagi. Bahkan sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wadah dengan dikeluarkannya Undang Undang No.30 tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase.
Selanjutnya teori Semi Autonomous Social Fields (dalam Ihromi, 1993) yang merupakan  hasil penelitiannya di bidang agraria di Tanzania, tepatnya pada suku Chagga. Latar belakang munculnya teori ini bermula dari adanya dikotomi tentang hukum, dari Roscoe Pound dan Cochrane. Ahli sosiologi hukum Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi sebagai alat untuk merubah/merekayasa masyarakat (law as a tool of social engeneering), artinya dengan pemberlakuan hukum dari pemerintah  maka perilaku masyarakat dapat diarahkan sesuai dengan hukum tersebut (perubahan sosial). Sebaliknya Cochrane mengemukakan bahwa masyarakatlah yag menentukan hukum, bukan masyarakat yang diarahkan oleh hukum dari pemerintah.
Dengan bekal pendapat yang kontradiktif tersebut, Moore ingin membuktikannya dengan melakukan penelitian pada Suku Chagga di Tanzania yang sedang diberlakukan UU Agraria yang baru yang intinya tidak ada lagi tanah milik pribadi tetapi semua tanah milik negara, setiap warganegara hanya mempunyai hak menggarap. Ternyata penerapan UU tersebut oleh pemerintah Tanzania yang sosialis, tidak mencapai hasil yang diharapkan. Orang-orang yang dulunya tuan tanah, dan sekarang tanahnya diambil oleh negara dan kemudian diberi tanah garapan yang luasnya sama dengan lainnya, ternyata secara terselubung tetap menjadi “tuan tanah”, karena jika ada orang yang dulunya tidak punya tanah kemudian dengan UU baru dia dapat tanah, tidak dapat menggarap tanah tersebut karena tidak punya biaya. Kemudian yang terjadi, secara diam-diam tanahnya dijual sedikit kepada “tuan tanah” untuk memperoleh uang. Sehingga yang terjadi keadaan kembali seperti sebelum adanya UU Agraria, yang tuan tanah kembali jadi tuan tanah, yang miskin tetap miskin.
Akhirnya muncul satu teori dari Semi Autonomous Social Fileds dari Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa dalam suatu bidang kehidupan sosial secara internal dapat membangkitkan aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, sistem-sistem, tetapi di lain pihak juga rentan menjadi sasaran dari aturan-aturan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari eksternal yang mengitarinya.  
Teori terakhir dari Michel Lipsky yang bertajuk Street Level Bureaucracy (dalam Masinambouw, 2000:168) berpendapat bahwa para birokrat tingkat bawah yang langsung berhadapan dengan masyarakat mengamban dua tugas sekaligus: 1). sebagai pelaksana peraturan/kebijakan; 2). dalam diri mereka melekat diskresi (kebijaksanaan). Teori Steet Level Bureaucracy mengatakan  bahwa ada kecenderungan birokrat tingkat bawah untuk melakukan diskresi yang menguntungkan dirinya sendiri. Berbagai contoh di Indonesia, adalah pungutan-pungutan liar untuk mengurus KTP, SIM, Paspor, perijinan, sertifikat tanah, bahkan termasuk pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Kisi-Kisi] Teori Perancangan Hukum